Biografi KH. Yahya Cholil Staquf
116
tanggung jawab NU terhadap masyarakat secara inklusif.
Dengan kata lain, dampak kehadiran NU harus diperluas
tidak hanya terbatas pada mereka yang terafiliasi secara
keorganisasian atau dalam istilah Gus Yahya: khidmah
inklusif. Dengan kesadaran ini, NU tidak lagi terkungkung
dalam egoisme identitas sempitnya. Aktivisme organisasi
ini harus diarahkan pada pemecahan-permasalahan nyata
di lingkungan di mana organisasi tersebut hadir. Respons
dan partisipasi NU dalam masyarakat harus didasarkan
pada
pertimbangan-pertimbangan
rasional,
bukan
kerangka identitas yang sempit.
Ketiga,
slogan
“men-jam’iyyah-kan
jama’ah”
seringkali terdengar dalam tradisi NU. Jargon ini muncul,
seperti yang sudah disinggung sebelumnya, dari kesadaran
bahwa NU memiliki sistem keorganisasian yang lemah
dan, menurut Gus Yahya, sudah digaungkan cukup lama.
Kenyataannya, NU secara keorganisasian tak banyak
berubah. Hal ini, menurut Gus Yahya, dapat berimplikasi
pada
semakin
longgarnya
model
kewargaan
atau
keanggotaannya. NU sebagai komunitas dan NU sebagai
organisasi dapat berjalan secara terpisah dan setiap orang
dapat merasa bagian dari NU tanpa harus berurusan
dengan pengurusnya.
Mengingat situasi ini dan potensi buruknya ke
depan, Gus Yahya berpandangan bahwa perlu adanya
penguatan intensitas kehadiran kepemimpinan NU dalam
komunitasnya atau dalam istilah yang lebih populer di
dunia pesantren “ri’aayah”. Kepemimpinan NU harus
terlibat dalam menyelesaikan dan memberi solusi atas
permasalahan-permasalahan
masyarakat
setempat.
Semakin intens keterlibatan NU, semakin besar dukungan
masyarakat terhadap organisasi dan semakin luas pula